"Tapi, “pemuda”
bukanlah semata soal daftar usia yang di bawah 30-an itu. “Pemuda” itu lebih
dicirikan oleh pikiran dan tindakan mereka yang melampaui zamannya"(Shofwan ABCd - selasar.com)
Perkenalkan,
kita –aku dan kamu yang merasa- adalah generasi “lemah” abad ini. Kita dilahirkan
tak pernah merasakan bagian-bagian yang tercatat dalam pentas sejarah. Kita bukan
para generasi yang melakukan sumpah “Pemuda”, juga bukan generasi pelopor
kemerdekaan bangsa kita, bukan pula generasi pembela kemerdekaan. Sekadar menyaksikan
peristiwa G30S/PKI dan krisis moneter pun tak kita alami.
"Kita ini belajar, dalam gedung yang
didirikan di atas darah, nanah, dan keringat rakyat. Tegakah, sampaikah hatimu,
jika setiap intelektualitas, ilmu dan fasilitas itu hanya kau gunakan untuk
mencari kenikmatan hidupmu sendiri. Hanya berpikir tentang prospek kerja dan
berapa gajinya.” (Obrolan,
Jum’at 9 Mei 2014)
Seorang dosen
pernah mengajar dihadapan Mahasiswanya, “Kamu
kuliah untuk apa?”, “Untuk dapat kerja pak.”, “kamu setelah dapat kerja terus
apa?” , “Biar bisa kawin pak”, “oooh, berarti kesimpulannya kuliah itu
tujuannya untuk kawin ya?”. Sontak seisi kelas gaduh dengan suara tawa
mahasiswa. Di atas sebuah kursi, sepasang mata terdiam, “siapa kita?”. Inilah kita yang hidup sebagai generasi zaman ini.
Ada yang
kemudian “galau” sejak dahulu, ada juga yang mulai “galau”, serta ada yang
tenang-tenang saja mengamini kondisi ini, melanjutkan perjalanan hidup. Work hard Party Harder. Apakah kita
sedang terbuai dengan asas ini? Kuliah sekeras-kerasnya, bekerja dengan gaji
fenomenal, dan melampiaskan kepenatan dengan gemerlap malam dengan
hiburan-hiburan yang dijajakan.
***
***
Perkenalkanlah
kami –aku dan kamu yang akan bergabung- yang telah memutuskan, melakukan
Revolusi. Perubahan adalah tabiat dari alam jagad raya, maka kita adalah bagian
dari perubahan.
***
Namun,
kejatuhan suatu bangsa hampir selalu didahului atau diikuti oleh kenaikan
bangsa lain yang mewarisi dan meneruskan tradisi maupun peradaban sebelumnya.
Jika
Kejayaan suatu bangsa hanya bertahan empat atau lima generasi, maka hal itu
dikarenakan generasi pertama adalah ‘pelopor’, generasi kedua ‘pengikut’,
generasi ketiga ‘penerus tradisi’, sedangkan generasi keempat berpaling dari
tradisi. (Syamsyudin dalam Orientalis, 2008 dikutip dari Ibnu Khaldun dalam
Muqadimah)
“Sebuah kejayaan suatu peradaban akan
dipergilirkan. Saat ini dibelahan bumi bagian sana, sedang terjadi ‘Silver
Tsunami’, suatu kondisi dimana para orang-orang berambut putih menjadi dominasi
dari demografi suatu bangsa” (Jazir ASP, dalam diskusi Stadium General Mentoring)
Kita dalah
generasi abad ini, yang mewarnai bangsa ini menjadi harapan sebuah ‘perubahan’.
Jumlah kita begitu banyak, saatnya kita tersadar bahwa Kulliah ( atau hidup)
bukan untuk kawin, bukan untuk berpesta pora dalam gemerlap dunia, namun
kehampaan menjadi pengisi dalam jiwa-jiwa kita. Kita bukan mayat berjalan.
***
Dengan
mudah dapat kita lihat di toko buku, semakin banyaknya tulisan-tulisan dan
buku-buku baru, termasuk tentang arsitektur dan perkotaan Negara berkembang,
yang mereka terbitkan. Kita hanya bisa meneguk air liur saja. Apa mau dikata,
memang budaya kita masih terpancang budaya lisan. Lebih senang banyak berbicara
daripada terjun ke lapangan, meneliti kemudian menulis di ruang kerja atau
perpustakaan, untuk dimasyarakatkan sebagai pertanda pengamalan ilmu dan
pengilmiahan amal. Tudingan Dr. Istiati Soetomo bahwa kebanyakan sarjana kita
mengidap penyakit “cultural laziness”, termasuk kemalasan menulis, memang jadi agak
sulit untuk disanggah. ( Eko dalam Perkotaan, 1987)
Seorang
mahasiswa bertanya kepada sang dosen, “Bu,
kenapa yang menjadi nama-nama dari tokoh yang akan kita bahas semua namanya
asing, hanya beberapa saja yang tidak asing pengejaannya?”, “Sungguh banyak hal
yang bisa kit dapatkan di negeri kita ini. Tetapi sayang tak ada (atau hanya
sedikit) manuskrip-manuskrip yang bisa menjadi rujukan bagi kita. Semangat menulis
bangsa kita masih kurang dibandingkan dengan bangsa mereka. Mahasiswa semester
tiga di sini, dibandingkan dengan mahasiswa semester tiga di sana tentu juga
beda kan semangat menulisnya? “.
Dulu,
seorang ulama bisa memiliki bisa memiliki buku yang jumlahnya ratusan ribu . Di
sebuah kota memiliki sekurangnya 30
sampai 40 perpustakaan umum, dan seorang saudagar kaya akan bangga apabila di
rumahnya terdapat perpustakan yang dikunjungi oleh orang. Tradisi Ilmu luar
biasa. Toko-toko buku jumlahnya ratusan. Orang-orang yang suka mengkopi buku
dengan cara menulis jumlahnya ribuan. Tradisi ilmu mewarnai peradaban islam
pada waktu itu. Segala persoalan diselesaikan dengan cara menulis. (Hamid
Fahmi, dalam pidatonya di Youtube)
***
“ Manusia itu ibarat logam mulia (seperti emas
dan perak). Yang terbaik di masa jahiliyyah, akan menjadi terbaik di masa
islam, jika mereka berilmu.” Hadist Riwayat Bukhori no 1238).
Kita adalah
emas dan perak. Generasi kita emas dalam memainkan game, membaca komik, memikat
lawan jenis untuk dipacari, menghambur-hamburkan uang orang tua, membuang waktu
di sudut-sudut kota dengan merokok dan minum, bermain game online berhari-hari,
beradu otot hingga menumpahkan tetesan hingga kucuran darah.
Kita adalah
logam mulia. Yang terbaik dimasa kegelapan akan menjadi terbaik dalam masa
penuh semburat cahaya, dengan ilmu. Kita dalah terbaik. Saatnya menjadi bagian
solusi. Perubahan adalah tabiat dunia ini. Saatnya kita siapkan segala sesuatu.
***
Siapa kita?
Kita adalah penjahat. Penjahat dari para penjahat. Karena musuh dari musuhku
adalah kawan. Maka kita penjahat yang menjadi kawan pendekar pembela kebenaran.
Kita akan terus bergerak dalam walau dalam kesunyian, walau dalam rasa pahit,
walau rasa berat. Suatu hari mereka akan bertanya. “Siapa kamu?”, “ kita? Para penjahat
dari para penjahat.”
Tamat tulisan
ini. Dari mereka yang gelisah, semoga engkau juga tertular.
Rujukan:
Arif,
Syamsuddin.2008. Orientalis & Diabolisme Pemikiran. Jakarta: Gema Insani Press
Budiharjo,
Eko. 1987. Percikan Masalah Arsitektur Perumahan Perkotaan. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Komentar