[peng]Acong[an]

“Acong”. Banyak orang telah bertanya tentang apakah arti “acong”? Apalagi setelah penyebaran kata “acong” telah meluas hingga telah menjadi perbincangan khalayak yang penasaran. apakah arti “acong”. Maka, dengan tulisan yang ringkas, dan sederhana ini semoga dapat memberikan kejelasan bagi para penanya dan yang penasaran tentang “acong”, “acong”is, “acong”itas, “acong”isme, “acong”istik, dan “acong”isasi, hingga ungkapan ejekan pada seseorang dari seseorang lainnya, “Kamu kok “acong” banged E”.

Sudah tentu bila rekan-rekan sekalian mencarinya di kamus bahasa Indonesia, baik di internet maupun diperpustakaan, yang ada ialah berkerutnya kening dan kekecewaan yang ada, sebab kata “acong” belumlah termaktub dalam kamus-kamus tersebut. Maka, perlunya sebuah definisi yang jelas dan dapat dipahami.

Secara etimologi, “acong” berasal dari kata “acong” itu sendiri yang diambil dari nama Master Hairstyle ternama ACONG yang bekerja di Salon Rivinni. Maka rekan-rekan sekalian akan bertanya, “Opo hubungane?”. Dahulu, gambar “acong” terpampang di sebuah jalan [Kyai Mojo] yang sering dilewati anak-anak SMA 1 [2013]. [Maaf] Karena foto yang terpampang dan kata “acong” agak lucu, maka kata tersebut awalnya hanya menjadi bahan ejekan satu sama lain. “Kamu “acong” sekali”. Di awal, kata “acong” itu digunakan untuk mengejek dalam semua kondisi, lalu perlahan mengalami ameliorasi makna. Kata “acong” digunakan sebagai majas anti-ironi (lawan dari ironi), jika majas ironi merupakan sindiran dengan mengatakan kebalikan dari keadaan yang sebenarnya. Atau majas yang mengatakan makna yang bertentangan dengan maksud berolok-olok[1]. Maka anti-Ironi merupakan sebuah pujian dengan mengatakan kebalikan dari keadaan yang sebenarnya. Atau majas yang mengatakan makna yang bertentangan dengan maksud memuji. “Kamu “acong” banget! Kok bisa-bisanya terlihat jarang belajar kok nilainya bagus!”. Hingga nantinya kata “acong” dapat dijelaskan secara terminologi.

Setelah proses yang panjang, secara terminologi “acong” adalah gabungan dari berbagai rasa; senang, pahit, solidaritas, ‘jahat’ ikatan hubungan, semangat, gembira, dan spontan, serta BAHAGIA. Ia adalah akumulasi dari pemaknaan kehidupan semasa SMA. Rasa demi rasa pahit yang begitu mendalam, seperti kopi pahit tanpa gula yang dipaksakan untuk diminum, hingga rasa pahit itu memunculkan solidaritas dan ikatan hubungan yang kuat bagi para pereguknya, dimana solidaritas dan ikatan hubungan yang mendalam menimbulkan rasa semangat dan gembira, lalu ‘menjernihkan’ pikiran yang memunculkan ide-ide spontan dan terkadang berbau ‘jahat’, akhirnya memunculkan rasa bahagia, as-sa’adah.

Ya, bahagia. Bagaimana bisa, dari pahit menjadi bahagia? Mengutip penjelasan Ustadz Salim A. Fillah, dalam Lapis-Lapis Keberkahan,

As-sa’aadah kita sering menerjemahkannya sebagai “kebahagiaan”, Tapi dalam  kamus Lisaanul ‘Arab diterangkan, jika ada yang mengatakan, “as’adallaahul’abda wa sa’aadah”, maka maknanya adalah “Allah telah memberikan taufiq-Nya kepada sang hamba untuk melaksanakan amal yang diridhai-Nya, karena itulah beroleh kebahagiaan”. Maka Berkah adalah kebahagiaan yang berakarkan ketaatan, atas karunia bimbingan Allah dalam melaksanakan apa yang diridhai-Nya.”.[2]

Sedangkan ‘kepahitan’ dalam kamus anak SMA 1 adalah amanah, dan amanah yang diterima, kami selalu diajarkan bukan untuk menjadi "event organizer". Mendapat sertifikat (penambah daftar CV), meraup untung berlimpah, atau sekedar menebar pesona sebab sang pujaan hati juga bergabung. Kami selalu diminta untuk selalu memaknai 'hikmah apa yang kita dapatkan', selalu memikirkan kemaslahatan, dan selalu peka tentang seberapa efek yang ditimbulkan dalam rangka taat kepada Allah. Dan yang demikian itulah, dalam kepahitan ada kebahagiaan.

Selaras apa yang diutarakan Mas Arief Bakhtiar dalam acara Sekolah KSAI secara maknawi, “Tidak seharusnya kalian yang datang ini bersedih! Lho, kenapa harus bersedih? Kalian sudah datang dalam acara ini, memenuhi undangan, apalagi tepat waktu. Bukannya seharusnya yang bersedih itu mereka yang terlambat atau bahkan tidak berangkat tanpa ada udzur yang syar’i? (Walau begitu, mari tetap selalu khusnudzan dan tetap mendo’akan saudara kita)”. Maka seharusnya kita berbahagia, sebab kita telah memenuhi undangan dan datang tepat waktu dalam rangka ketaatan kepada Allah.

Lalu “acong” itu apa? Sebuah gerakan? Kelompok? Tergantung dari imbuhan kata; “acong”is berarti orang yang faham tentang “acong”, dan mampu memanfaatkan “acong” untuk kemaslahatan; “acong”itas adalah tingkat ke-”acong”-an dari seseorang, gerakan, program; “acong”isme adalah faham dimana sesuatu yang mengalami stagnan itu harus di-”acong”-kan, karena “acong” memiliki unsur spontan [maka tidak seharusnya jika semua harus di-”acong”-kan]; “acong”istik maksudnya sebuah sifat dari sesuatu yang telah di-”acong”-i; “acong”isasi dapat diartikan sebagai sebua usaha untuk peng-”acong”-an. Maka “acong” dapat berupa orang yang memiliki faham dan kemampuan, atau sebuah gerakan, dan kelompok.

Tentu saja, “acong” bukanlah usaha menghancurkan sistem, atau membuat sistem diluar sistem (walau sebenarnya bisa), akan tetapi hukum asalnya untuk kemaslahatan. Maka saat ini “acong” digunakan hanya untuk menunjang sistem, sebagai pelengkap. Berperan sebagai komunitas dalam system, di mana komunitas itu memberikan suntikan ruh, ghirah, semangat, penambahan kefahaman ketika selalu diadakan dialog intelektual di manapun dan kapan pun, ketika para “acong”is bertemu dalam keadaan senang dan susah.

***




Sumber:
[2] Lapis-Lapis Keberkaharn, Ustadz Salim A. Fillah.

 sumber gambar acong: 



https://twitter.com/rivinnihs

Komentar