Layangan

“Jendela. Aku ingat selalu, ketika ku merasa bosan dengan rutinitas kelas, ku pandang jendela. Memandang dengan penuh perhatian, seakan aku merasa sendiri di tengah kelas. Langit berhias awan memiliki pesona untukku. Melihatnya, selalu muncul angan, bisakahkah aku berpetualang bebas ke sana kemari? Di bawah langit yang sama, dengan awan-awannya yang selalu berbeda?”


***
“Lihatlah. Sekerumunan bocah sedang asyik memainkan layangan. Langit sore, dengan semburat kemuning cahaya hangat, menerpa kulit-kulit tubuh kita. Suara gelagak tawa mengirama bersama gemuruh angin segar, gemulai halus mengusap wajah-wajah kita yang masih bujang ini. Itulah potret masa lalu kita, di masa penuh canda dan bahagia.”

“Begitulah, hari-hari yang kita impikan dahulu telah datang menyapa. Tanpa tanda, ia tiba-tiba datang padahal tiap saat kita menantinya sabar dengan berbaring diantara sisa-sia panenanan padi, dengan memandang layang-layang yang terbang dengan tenang. Kadangkala kita memetik rerumputan untuk dibuat gigit-gigitan seperti yang ada pada film-film aksi di TV. Tanpa sadar, inilah hari-hari kita sekarang.”

“Ibu ku pernah bercerita, bahwa hakikat aku dahulu disekolahkan utamanya bukan untuk belajar. Mencari teman. Ibu selalu menanamkan jujur dan selalu berusaha berbuat baik kepada teman. Padahal diriku sering menjadi pendendam.”

“Begitulah, tabiat waktu adalah selalu berjalan tanpa menunggu kehendak sang makhluk. Kita. Engkau dan aku, kini kita telah disapa dengan hari-hari yang telah sejak lama ditunggu. Di bawah pohon rindang, ketika sinar matahari menembus celah-celah daun. Terbayang hari-hari yang tak sabar di nanti. Hari- hari ini.”

“Layang-layang terbang tinggi bersaing di angkasa yang sejatinya hanyalah beradu senar, siapa diantaranya yang paling tajam senarnya. LIHAT!!! Salah satu layangan terputus. Tergulai lemas, pasrah terhadap angin, ke mana akan mengantarnya jatuh.”


“Ya, sang adik menangis melihat layang-layang terputus. Sang kakak berlari kencang menurut arah angin yang membawanya.”

“Awwaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaas!!!!!!!! Hampir saja engkau tertabrak sepeda motor yang melintas. Kenapa engkau terlalu menginginkannya kembali? Bukankah sebenar-benar barang berharga yang perlu dikhawatirkan ada di sana? Bermain layang-layang, ya bermain layang-layang setelah engkau menerbangkannya di langit selanjutnya hanya kehampaan yang menerpa hati. Ia menyenangkan saat-saat menerbangkan dan saat-saat terbang ketika engkau bersama kawan-kawanmu. Tidur bertelekan sisa-sisa jerami yang sedang membusuk, membicarakan dengan penuh imajinasi. Kembalilah ke sana! Biarkan layang-layang itu hanyut entah kemana. Waktumu bersama mereka tak akan selamanya.” 

Komentar