Jurnal KSAI Al- Uswah #1

Puja dan puji hanya milik Alloh SWT semata, yang tidak pernah menyia-nyiakan siapapun yang mengharapkan keridhaan-Nya, dan tidak pernah menampik siapa pun yang memanjatkan do’a kepada-Nya. Segala puji hanya bagi-Nya, yang dengan segala taufik dan pertolongan-pertolongan-Nya semata, apapun wujud kepentingan, pasti dapat dilaksanakan dengan sempurna. Segala puji hanya bagi Alloh yang telah menciptakan segala sesuatu, lalu menyempurnakan penciptaannya, dan yang telah menetapkan takdir lalu menurunkan petunjuk bagi para hamba-Nya.

Semenjak awal kita selalu bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi secara benar melainkan Alloh, yang Maha Tunggal, dan tidak ada sekutu bagi-NYA. Kita pun bersaksi, bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.

Bersekolah di SMA 1 adalah sebuah hal yang sangat  mewah yang kita dapatkan. Di sekolah yang telah meluluskan banyak orang-orang hebat yang kemudian melanjutkan perjuangan menegakkan dienul Islam. Di sekolah Negeri ini banyak hal-hal besar terjadi, yang kadang tak pernah direkam dengan tulisan. Namun diturunkan melalui lisan dengan lisan. Tiga tahun berlalu, dengan tiap tahun, bahkan tiap semester selalu bisa kita uraikan secara definitif apa-apa yang bisa kita lakukan, dan apa-apa yang bisa kita kerjakan.

Barangkali, banyak diantara kita, yang sebelumnya di waktu SMP adalah penjahat ulung di tengah-tengah anak-anak SMP, adalah seorang pendengki, provokator kejahatan-kejahatan, adalah seorang yang tak punya pendirian, prinsip, dan idealisme. Barangkali pula, banyak diantara kita menganggap masa remaja awal, masa SMP adalah masa jahiliyah yang bila kita mengingatnya selalu merasa “aku tidak habis pikir kenapa  dahulu kita seperti itu”. Dan tentu, masih barangkali pula, diantara kita semasa akhir SMP ketika ada hasrat ingin melanjutkan sekolah di SMA 1, telah berazam, bertekad untuk keluar dari gelapnya masa, menuju cahaya perbaikan diri. Sekali lagi, barangkali diantara kita yang bertekad itu, ada yang kemudian menyambut cahaya Islam dengan bersegera, bergegas, takut ajal segera menjemput. Menjadikan orang lain bertanya-tanya, “ sejak kapan dirimu berubah seperti ini? Setahuku dulu engkau adalaha seorang....”. Sungguh sebuah kejadian yang sangat menakjubkan, ibarat seoarang penjahat yang kini menjadi penjahatnya penjahat. Sebagaimana dalam sebuah hadist, “ Manusia itu ibarat logam mulia (seperti emas dan perak). Yang terbaik di masa jahiliyyah, akan menjadi terbaik di masa islam, jika mereka berilmu. Hadist Riwayat Bukhori no 1238).

Tiga tahun yang penuh dengan romantisme kenangan kini sudah berlalu. Setelah acara wisuda telah terlaksana, kita resmi telah diluluskan, telah resmi untuk beranjak pergi untuk menuntut ilmu dijenjang yang lebih tinggi (bagi orang-orang yang memutuskan untuk melanjutkan kuliah). Sebuah pertanyaan mendasar bagi kita, “ Setelah ini, lalu apa?”. Bagi kita, yang telah resmi lulus, dan beranjak ke lingkungan baru, hampir bisa dipastikan akan terkaget-kaget melihat  kondisi ini tak sebahagia dulu, tak senyaman dahulu, dan tak seindah dulu kala. Perjalanan awal dimulai dengan ospek di kuliah, yang orang bilang, “ wis to nek wis tau melu GVT ki ospek mung marakke keri (geli)” ( jelas bukan ospek yang hewani yang sampai merenggut nyawa, lho ya). Gambaran indah GVT dengan segala pernak-perniknya kembali memaksa untuk dikenang kembali. Setiap kita yang bertemu dengan sahabat lama di SMA selalu saja berkeluh kesah, tentang dunia kuliah. Ketika penanaman prinsip dan Idealisme di GVT dilakukan secara rapi, halus, dan begitu indah. Di ospek perkuliahan kita dipaksa untuk memiliki sebuah gambaran idealisme yang begitu utopis (berangan-angan) yang bahkan kita sendiri tak bisa membayangkan bagaimana bila benar-benar terjadi. Kerasnya kehidupan kuliah membua; sebuah dilema yang begitu mengusik hati, hanyut dengan kerasnya lingkungan kuliah, atau bertahan dengan segenap semangat.

Tiga tahun kini benar-benar telah berlalu. Generasi-generasi dalam sebuah angkatan berganti tanpa bisa kita hentikan. Karena ini adalah sebuah sunnatulloh, bahwa waktu akan terus berjalan tanpa bisa kita hentikan, tanpa bisa kita putar kembali menuju masa lampau. Pernah kita merenungi berbagai pelajaran yang begitu banyak di SMA 1 itu? Kenapa, di SMA, ketika umur masih begitu muda belia, kita semua diusahakan untuk dicetak menjadi generasi yang kuat secara aqidah, jasad, pemikiran, kematangan ilmu dan berfikir?

Kita mengusahakan da’wah di sekolah-sekolah secara umum dan secara khusus di SMA 1, adalah untuk membangun peradaban islam dengan dimulai dari generasi muda. Strategi utamanya adalah untuk sebanyak mungkin mencetak Agent of change dan menyiapkan Iron stock. Agent of change adalah seseorang yang siap berjuang sewaktu SMA yang kemudian  tetap melanjutkan dimana ia berada, di kampus, di kampung, maupun di instansi dan lembaga lainnya. Agent of change juga termasuk sesorang yang berjuang kembali, menjaga dan memperbaiki keadaan SMA. Iron stock adalah generasi simpatisan da’wah yang akan menyambut seruan perbaikan diri, syi’ar-syiar Islam setelah lulus dari SMA, yang siap ditempa menjadi Agent of change.

Tiga tahun sudah berlalu. Lantas, apakah kita sudah memilih untuk menjadi yang mana? Agent of change, Iron Stock, atau –na’udzubillah- menjadi pengahalang akan tegaknya dienul islam?

Tiga tahun sudah berlalu. Barang kali, kita sering lupa, bahwa selain dari guru, para pelajar (kita dahulu) yang berjuang dalam menciptakan cita-cita  teladan daarussalaam, ada banyak sosok alumni dibaliknya yang berjuang sepenuh hati, memberikan segala fasilitas dengan  yang diusahakan dengan bersusah payah. Ketika kita dikenalkan lingkungan SMA 1 oleh pendamping SAA (kakak kelas), lalu diajari bagaimana berkasih sayang oleh pansus GVT (kakak kelas) dan minimal selama 8 bulan ada kakak alumni yang telah meluangkan, memprioritaskan waktunya untuk pelajar (kita dahulu). Berusaha memberikan -apa yang telah juga diberikan generasi sebelumnya- banyak pahaman, seperti pandangan hidup seorang muslim, bagaimana berorganisasi dengan baik, bagaimana mengelola hati dengan baik, bagaimana berda’wah di keluarganya, dan bagaimana mewujudkan cita-cita Teladan Daarussalaam.

Tiga tahun sudah berlalu. Sekitar tahun 1993, muslim alumni-alumni  yang resah dengan keadaan umat islam, lebih khusus keadaan generasi muda bangsa ini, telah berkumpul dengan tekad membara. Lahirlah KSAI Al- Uswah, (Kelompok studi Amaliyah dan Islam). Yang sampai sekarang masih tetap berdiri, dengan segala dinamika yang ada.

Tiga tahun sudah berlalu. Maka kawanku, mari kita menyambut seruan itu. Seruan untuk kembali ke SMA 1 dalam rangka Reuni Perjuangan, “Sekali Lagi kita akan Berjuang”.
dan tiga tahun sudah benar-benar berlalu, bayangkan kawanku, bila angkatan baru kita tempa selama itu. Bayangkan kawanku, bila kita mencetak ratusan Agent of Change yang siap berjuang di kampus, di kampung, di instansi-intstansi dan lembaga lembaga, serta tak lupa untuk ada kembali  ke SMA 1 untuk menjaga system, maka bisa dibayangkan peradaban islam akan segera tampil kembali menjadi Rahmatan lil ‘alamin.

Suatu ketika, di beberapa pertemuan, seorang lelaki yang katanya sudah mirip dengan bapak-bapak bertanya, “kalau teman-teman selalu mengikuti sesi evaluasi suatu event/program, kira-kira evaluasi apa yang hampir selalu diutarakan oleh peserta forum?”. Sejenak, mereka berpikir untuk mengingat kejadian sesi evaluasi yang selalu mencekam bagi benakku, karena hampir selalu menjadi forum salah menyalahkan.


“Ngolooooor mas jamnnya.”

“Pasti ada miskom.”

“Gara-gara miskom, terus pada gak maskimal kerjanya.”

“Koornya tidak mengomunikasikan keanggotanya tugas-tugasnya.”

Dan lebih banyak lagi. Kalau kita sejenak merenung dan sedikit memikirkannya, sebenarnya induk dari permasalahan itu ada dimana, maka bisa kita simpulkan secara sederhana, bahwa segala masalah itu timbul dari dua induk, “komunikasi”, “kedisiplinan”. Dua hal itu, bila tidak dikuasai, atau tidak menjadi tradisi untuk selalu diupayakan dalam sebuah organisasi maka dengan mudah dan cepat masalah-masalah serius akan timbul setelahnya, akhirnya menjadi kurang maksimal hasil yang ingin dicapai.

Namun, seiring berjalanan waktu, teori “komunikasi dan kedisiplinan menjadi kunci sebuah organisasi” ternyata kedua hal itu bukan permasalahan yang utama. Karena setelah disosialisasi pun akhirnya tidak menunjukan perubahan yang signifikan mungkin saja karena menganggap teori tadi tidak penting. Mungkin.

Akhirnya, tercetus sebuah pikiran yang intinya adalah bahwa sebenarnya yang menjadi kunci keberhasilan sebuah organisas adalah kefahaman. Kefahaman tentang kenapa kita berada di organisasi ini, apa tujuan organisasi ini, apa tujuan kita berada di organisasi ini, apa yang kita usahakan, bagaimana cara untuk mencapai tujuan. Semua tentang kefahaman. Sebagaimana kehidupan seseorang di dunia ini ditentukan pula dari kefahaman, kenapa ia berada di dunia ini, dari mana ia berasal, ke mana ia akan kembali, apa yang tujuan ia berada di sini. Maka apabila kita faham secara utuh, maka seharusnya tidak ada lagi/sedikit kalimat evaluasi, kalaupun ada, maka hal-hal teknis yang tidak terduga dan bisa jadi memang bukan human error/kesalahan dari dalam organisasi tetapi dari luar. Misalnya terjadi gempa bumi maka kegiatan kemah dibatalkan, alias gagal total.


Seolah tak ada habis-habisnya, dan tak ada jemu-jemunya kita membahas pemuda dengan segala idealitasnya, segala persoalannya, dan segala semangat membara yang dimiliki oleh pemuda.  Begitu berharganya pemuda dalam kebangkitan umat Islam maka harus kita upayakan dengan semaksimal daya, dan dengan segala lini untuk menghilangkan lumpur-lumpur yang menempel pada mutiara, yaitu pemuda. Dalam kesempatan ini, saatnya kita untuk membahas apa-apa yang bisa kita upayakan untuk menyelamatkan kunci kebangkitan umat dan segera menggunakannya untuk membuka pintu kejayaan. Mari kita membahasnya secara khusus bagaimana kita akan kembali berjuang di SMA 1 Yogyakarta, dan lebih spesifik lagi, yaitu peran alumni bagi da’wah di SMA 1.

Komentar