Puja dan puji hanya milik Alloh
SWT semata, yang tidak pernah menyia-nyiakan siapapun yang mengharapkan
keridhaan-Nya, dan tidak pernah menampik siapa pun yang memanjatkan do’a
kepada-Nya. Segala puji hanya bagi-Nya, yang dengan segala taufik dan pertolongan-pertolongan-Nya
semata, apapun wujud kepentingan, pasti dapat dilaksanakan dengan sempurna.
Segala puji hanya bagi Alloh yang telah menciptakan segala sesuatu, lalu
menyempurnakan penciptaannya, dan yang telah menetapkan takdir lalu menurunkan petunjuk
bagi para hamba-Nya.
Semenjak awal kita selalu
bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi secara benar melainkan Alloh,
yang Maha Tunggal, dan tidak ada sekutu bagi-NYA. Kita pun bersaksi, bahwa
Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.
Bersekolah di SMA 1 adalah sebuah hal yang sangat mewah yang kita dapatkan. Di sekolah yang
telah meluluskan banyak orang-orang hebat yang kemudian melanjutkan perjuangan
menegakkan dienul Islam. Di sekolah Negeri ini banyak hal-hal besar terjadi,
yang kadang tak pernah direkam dengan tulisan. Namun diturunkan melalui lisan
dengan lisan. Tiga tahun berlalu, dengan tiap tahun, bahkan tiap semester
selalu bisa kita uraikan secara definitif apa-apa yang bisa kita lakukan, dan
apa-apa yang bisa kita kerjakan.
Barangkali, banyak diantara kita, yang sebelumnya di waktu
SMP adalah penjahat ulung di tengah-tengah anak-anak SMP, adalah seorang
pendengki, provokator kejahatan-kejahatan, adalah seorang yang tak punya
pendirian, prinsip, dan idealisme. Barangkali pula, banyak diantara kita
menganggap masa remaja awal, masa SMP adalah masa jahiliyah yang bila kita
mengingatnya selalu merasa “aku tidak habis pikir kenapa dahulu kita seperti itu”. Dan tentu, masih
barangkali pula, diantara kita semasa akhir SMP ketika ada hasrat ingin
melanjutkan sekolah di SMA 1, telah berazam, bertekad untuk keluar dari
gelapnya masa, menuju cahaya perbaikan diri. Sekali lagi, barangkali diantara
kita yang bertekad itu, ada yang kemudian menyambut cahaya Islam dengan
bersegera, bergegas, takut ajal segera menjemput. Menjadikan orang lain
bertanya-tanya, “ sejak kapan dirimu berubah seperti ini? Setahuku dulu engkau
adalaha seorang....”. Sungguh sebuah kejadian yang sangat menakjubkan, ibarat
seoarang penjahat yang kini menjadi penjahatnya penjahat. Sebagaimana dalam
sebuah hadist, “ Manusia itu ibarat logam mulia (seperti emas dan perak). Yang
terbaik di masa jahiliyyah, akan menjadi terbaik di masa islam, jika mereka
berilmu. Hadist Riwayat Bukhori no 1238).
Tiga tahun yang penuh dengan romantisme kenangan kini sudah
berlalu. Setelah acara wisuda telah terlaksana, kita resmi telah diluluskan,
telah resmi untuk beranjak pergi untuk menuntut ilmu dijenjang yang lebih
tinggi (bagi orang-orang yang memutuskan untuk melanjutkan kuliah). Sebuah
pertanyaan mendasar bagi kita, “ Setelah ini, lalu apa?”. Bagi kita, yang telah
resmi lulus, dan beranjak ke lingkungan baru, hampir bisa dipastikan akan
terkaget-kaget melihat kondisi ini tak
sebahagia dulu, tak senyaman dahulu, dan tak seindah dulu kala. Perjalanan awal
dimulai dengan ospek di kuliah, yang orang bilang, “ wis to nek wis tau melu
GVT ki ospek mung marakke keri (geli)” ( jelas bukan ospek yang hewani yang
sampai merenggut nyawa, lho ya). Gambaran indah GVT dengan segala
pernak-perniknya kembali memaksa untuk dikenang kembali. Setiap kita yang
bertemu dengan sahabat lama di SMA selalu saja berkeluh kesah, tentang dunia
kuliah. Ketika penanaman prinsip dan Idealisme di GVT dilakukan secara rapi,
halus, dan begitu indah. Di ospek perkuliahan kita dipaksa untuk memiliki
sebuah gambaran idealisme yang begitu utopis (berangan-angan) yang bahkan kita
sendiri tak bisa membayangkan bagaimana bila benar-benar terjadi. Kerasnya
kehidupan kuliah membua; sebuah dilema yang begitu mengusik hati, hanyut dengan
kerasnya lingkungan kuliah, atau bertahan dengan segenap semangat.
Tiga tahun kini benar-benar telah berlalu. Generasi-generasi
dalam sebuah angkatan berganti tanpa bisa kita hentikan. Karena ini adalah
sebuah sunnatulloh, bahwa waktu akan terus berjalan tanpa bisa kita hentikan,
tanpa bisa kita putar kembali menuju masa lampau. Pernah kita merenungi
berbagai pelajaran yang begitu banyak di SMA 1 itu? Kenapa, di SMA, ketika umur
masih begitu muda belia, kita semua diusahakan untuk dicetak menjadi generasi
yang kuat secara aqidah, jasad, pemikiran, kematangan ilmu dan berfikir?
Kita mengusahakan da’wah di sekolah-sekolah secara umum dan
secara khusus di SMA 1, adalah untuk membangun peradaban islam dengan dimulai
dari generasi muda. Strategi utamanya adalah untuk sebanyak mungkin mencetak
Agent of change dan menyiapkan Iron stock. Agent of change adalah seseorang
yang siap berjuang sewaktu SMA yang kemudian
tetap melanjutkan dimana ia berada, di kampus, di kampung, maupun di
instansi dan lembaga lainnya. Agent of change juga termasuk sesorang yang
berjuang kembali, menjaga dan memperbaiki keadaan SMA. Iron stock adalah
generasi simpatisan da’wah yang akan menyambut seruan perbaikan diri,
syi’ar-syiar Islam setelah lulus dari SMA, yang siap ditempa menjadi Agent of
change.
Tiga tahun sudah berlalu. Lantas, apakah kita sudah memilih
untuk menjadi yang mana? Agent of change, Iron Stock, atau –na’udzubillah-
menjadi pengahalang akan tegaknya dienul islam?
Tiga tahun sudah berlalu. Barang kali, kita sering lupa,
bahwa selain dari guru, para pelajar (kita dahulu) yang berjuang dalam
menciptakan cita-cita teladan
daarussalaam, ada banyak sosok alumni dibaliknya yang berjuang sepenuh hati,
memberikan segala fasilitas dengan yang
diusahakan dengan bersusah payah. Ketika kita dikenalkan lingkungan SMA 1 oleh
pendamping SAA (kakak kelas), lalu diajari bagaimana berkasih sayang oleh pansus
GVT (kakak kelas) dan minimal selama 8 bulan ada kakak alumni yang telah
meluangkan, memprioritaskan waktunya untuk pelajar (kita dahulu). Berusaha
memberikan -apa yang telah juga diberikan generasi sebelumnya- banyak pahaman,
seperti pandangan hidup seorang muslim, bagaimana berorganisasi dengan baik,
bagaimana mengelola hati dengan baik, bagaimana berda’wah di keluarganya, dan
bagaimana mewujudkan cita-cita Teladan Daarussalaam.
Tiga tahun sudah berlalu. Sekitar tahun 1993, muslim alumni-alumni yang resah dengan keadaan umat islam, lebih
khusus keadaan generasi muda bangsa ini, telah berkumpul dengan tekad membara.
Lahirlah KSAI Al- Uswah, (Kelompok studi Amaliyah dan Islam). Yang sampai
sekarang masih tetap berdiri, dengan segala dinamika yang ada.
Tiga tahun sudah berlalu. Maka kawanku, mari kita menyambut
seruan itu. Seruan untuk kembali ke SMA 1 dalam rangka Reuni Perjuangan, “Sekali Lagi kita akan Berjuang”.
dan tiga tahun sudah benar-benar berlalu, bayangkan kawanku,
bila angkatan baru kita tempa selama itu. Bayangkan kawanku, bila kita mencetak
ratusan Agent of Change yang siap berjuang di kampus, di kampung, di instansi-intstansi
dan lembaga lembaga, serta tak lupa untuk ada kembali ke SMA 1 untuk menjaga system, maka bisa
dibayangkan peradaban islam akan segera tampil kembali menjadi Rahmatan lil
‘alamin.
Suatu ketika, di
beberapa pertemuan, seorang lelaki yang katanya sudah mirip dengan bapak-bapak
bertanya, “kalau teman-teman selalu mengikuti sesi evaluasi suatu
event/program, kira-kira evaluasi apa yang hampir selalu diutarakan oleh
peserta forum?”. Sejenak, mereka berpikir untuk mengingat kejadian sesi
evaluasi yang selalu mencekam bagi benakku, karena hampir selalu menjadi forum
salah menyalahkan.
“Ngolooooor mas
jamnnya.”
“Pasti ada
miskom.”
“Gara-gara
miskom, terus pada gak maskimal kerjanya.”
“Koornya tidak
mengomunikasikan keanggotanya tugas-tugasnya.”
Dan lebih banyak lagi. Kalau kita sejenak merenung dan
sedikit memikirkannya, sebenarnya induk dari permasalahan itu ada dimana, maka
bisa kita simpulkan secara sederhana, bahwa segala masalah itu timbul dari dua
induk, “komunikasi”, “kedisiplinan”. Dua hal itu, bila tidak dikuasai, atau
tidak menjadi tradisi untuk selalu diupayakan dalam sebuah organisasi maka
dengan mudah dan cepat masalah-masalah serius akan timbul setelahnya, akhirnya
menjadi kurang maksimal hasil yang ingin dicapai.
Namun, seiring berjalanan waktu, teori “komunikasi dan
kedisiplinan menjadi kunci sebuah organisasi” ternyata kedua hal itu bukan
permasalahan yang utama. Karena setelah disosialisasi pun akhirnya tidak
menunjukan perubahan yang signifikan mungkin saja karena menganggap teori tadi tidak
penting. Mungkin.
Akhirnya, tercetus sebuah pikiran yang intinya adalah bahwa
sebenarnya yang menjadi kunci keberhasilan sebuah organisas adalah kefahaman.
Kefahaman tentang kenapa kita berada di organisasi ini, apa tujuan organisasi
ini, apa tujuan kita berada di organisasi ini, apa yang kita usahakan,
bagaimana cara untuk mencapai tujuan. Semua tentang kefahaman. Sebagaimana
kehidupan seseorang di dunia ini ditentukan pula dari kefahaman, kenapa ia
berada di dunia ini, dari mana ia berasal, ke mana ia akan kembali, apa yang
tujuan ia berada di sini. Maka apabila kita faham secara utuh, maka seharusnya
tidak ada lagi/sedikit kalimat evaluasi, kalaupun ada, maka hal-hal teknis yang
tidak terduga dan bisa jadi memang bukan human error/kesalahan dari dalam
organisasi tetapi dari luar. Misalnya terjadi gempa bumi maka kegiatan kemah
dibatalkan, alias gagal total.
Seolah tak ada habis-habisnya, dan tak ada jemu-jemunya kita
membahas pemuda dengan segala idealitasnya, segala persoalannya, dan segala
semangat membara yang dimiliki oleh pemuda.
Begitu berharganya pemuda dalam kebangkitan umat Islam maka harus kita
upayakan dengan semaksimal daya, dan dengan segala lini untuk menghilangkan
lumpur-lumpur yang menempel pada mutiara, yaitu pemuda. Dalam kesempatan ini,
saatnya kita untuk membahas apa-apa yang bisa kita upayakan untuk menyelamatkan
kunci kebangkitan umat dan segera menggunakannya untuk membuka pintu kejayaan. Mari
kita membahasnya secara khusus bagaimana kita akan kembali berjuang di SMA 1
Yogyakarta, dan lebih spesifik lagi, yaitu peran alumni bagi da’wah di SMA 1.
Komentar