Akhir Sekaligus Awal Perjalanan

Jikalau saya disuruh untuk menceritakan intisari perjalanan dari awal kuliah hingga dipenghujung semester 4 ini, maka saya akan memberikan sebuah tema: Belajar bagaimana cara belajar untuk menjadi arsitek. Bukan bagaiamana cara menjadi arsitek, sebab saya masih mempertanyakan, kenapa kita kuliah? Kenapa?, kenapa?, dan kenapa?


















































































Worldview  adalah cara pandang seseorang terhadap dunia. Segala aspek kehidupan sadar atau tidak sadar ditentukan dari bagaimana cara pandang seseorang itu terhadap dunia. Siapa saya? Dari mana saya? Untuk apa hidup ini? Apa hubungannya manusia dengan alam? Kemana kita akan kembali?  Jawaban dari semua pertanyaan itu akan tercermin dari tujuan mereka dalam berpolitik, bersosial, berbudaya. Bagaimana tujuan mereka dalam memanfaatkan teknologi, keindahan apa yang menjadi parameternya, cara mendapatkan harta benda, lalu setelah uang terkumpul lalu untuk apa. Memandang realitas seseorang kemudian muncul pemikiran-pemikiran.

Ikhwanuddin dalam posmodernisme (2004), Hollier (1974) dalam Hays (2002), menyatakan , “ apa yang disebut arsitektur pada dasarnya hanyalah general locus atau framework dari representasi.” Arsitektur dapat mereprensentasikan sebuah agama, kekuatan politik, peristiwa, dan lain-lain. Arsitektur identik dengan ruang representasi. Arsitektur selalu merepresentasikan sesuatu yang lain di luar “dirinya”, yang membedakannnya dengan bangunan yang lain.

Sebuah pemikiran, ekonomi, politik, budaya, dan poin-poin lain di atas membutuhkan wujud fisik untuk mengaktualisasi dan menandakan eksistensinya. Maka arsitektur yang manusia setiap saat “memakainya” menjadi salah satu alat potensial. Lalu munculah berbagai macam teori arsitektur yang sebenarnya lebih mirip dengan “pembahasaan” untuk membumikan berbagai aspek di atas. Kenapa?  Karena arsitektur bisa di analogikan sebuah bahasa. Wayne O. Attoe mengatakan dalam Pengantar Arsitektur  (1979) ,

“Architecture is sometimes seen as being composed of elements (words) that are ordered according to rules (grammar and syntax) that allow people within given culture to readily understand and interpret what building is saying”

Eko dalam perkotaan (1987) mengutip Henryk (1976), pada awalnya arsitektur ditentukan di dalam suatu konteks di mana aspek agama dan seni sangat dominan. Hasilnya terwujud dalam karya-karya agung seperti Candi Borobudur, katedral Westminster atau mesjid Santa Sophia (mungkin yang dimaksud Hagia Sophia –pen), yang kaya akan ornament indah. Pada abad ke – 19 dan ke – 20, arsitektur lebih banyak ditentukan oleh teknologi dan ekonomi, dan mewujud dalam karya-karya pencakar langit, yang canggih dengan perlengkapan mekanilkal – elektrikalnya, dilandasi penalaran memaksimalkan efisiensi. Dan sekarang kita berada dalam ambang sintesis baru dimana arsitektur berakar pada masyarakat dan ekologi setempat, dengan manusia sebagai titik sentral dan parameter lainnya sekedar sebagai rusuk-rusuk penunjang.

Sebuah teori arsitektur hanya tinggal sebuah teori apabila tidak direalisasikan dalam wujud nyata sebagai bentuk arsitektur yang sudah terbangun. Tentu saja, dalam membangunnya tidak dengan asal-asalan, perlu sebuah teknik. Di dalam teknik arsitektur, sebuah karya dihasilkan dengan mentransformasikan banyak hal. Apabila kita tarik benang merahnya, maka akan sampai pada pembagian konseptual, dan teknis. Pada bagian konseptual, terbagi menjadi tiga; filosofi, kontekstual, dan fungsi.

Sebuah bangunan haruslah memiliki fungsi, apabila tidak maka ia hanya layak disebut sebagai sculpture (bisa dicari di internet). Banguanan ditempati oleh manusia maka harus berfungsi seperti apa yang diinginkan. Cara untuk menentukan fungsi bisa dilakukan melalui programming(Mata kuliah yang diajarkan adalah Metoda  Penyusunan Pemrograman Desain Arsitektur, yang beberapa waktu lalu terjadi sebuah polemic yang cukup controversial di kalangan mahasiswa). Sebuah bangunan juga berdiri di suatu lingkungan. Mau tidak mau, dalam mendesain harus memperhatikan site yang ada sehingga bisa menyesuaikan dengan lingkungan yang ada, sudah banyak karya yang gagal dikarenakan tidak memperhatikan poin kontekstual ini. Kemudian filosofi, adalah pemaknaan sebuah bangunan itu di desain. Filosofi memungkinkan untuk menyampaikan pesan kepada khalayak tentang maksud dan tujuan dari sebuah karya.  Cara menyampaikannya salah satunya dengan metode semiotika (saya sendiri belum begitu paham).

Secara konseptual saja tidaklah cukup untuk mendesain. Dibutuhkannya hal-hal teknis. Seperti struktur rangka, jenis bahan, perhitungan beban maupun biaya. Hal-hal teknis merupakan bagian yang tak terpisahkan.

Terakhir adalah bagian presentasi. Presentasi merupakan cara arsitek dalam berkomunikasi, menyampaikan ide dan gagasan. Metodenya beragam cara, seperti berpidato (lisan), menulis (buku), membuat maket (miniature), atau dengan poster.

***

Begitulah sekelumit jawaban dari kisah panjang dari semester 1 hingga penghujung smester 4 ini. Cara berpikir yang terlalu keras dan sifat pemalas (harus mempermasalahkan, alasannya apa?) memaksa untuk mencari jawaban tentang ini semua. Aku menyadari memang sulit untuk mau (dipaksa) diatur. Mencoba berapologi dengan pendapat Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah (Abad 14),

“ jelas bahwa hukum-hukum pemerintahan dan pendidikan merusak keteguhan jiwa, sebab kesadaran merupakan suatu yang datang dari luar. Berbeda dengan yang datang dari agama, sebab ia tidak merusak keteguhan jiwa. Sebab kesadaran itu tumbuh dari sesuatu yang sifatnya inheren. Itu sebabnya mengapa hukum-hukum pemerinthan dan pendidikan berpengaruh di kalangan orang-orang kota, dalam kelemahan jiwa dan berkurangnya kekuatan mereka, karena mereka membiarkan keduanya ibarat anak dan orang tua.”
Beberapa kali berdiskusi dengan bapak ibu dosen, dan belum (atau sedikit) mendapat jawaban atas 

“bagaimana  belajar cara untuk belajar menjadi Arsitektur”, mungkin disebabkan pertanyaan yang juga membingungkan. Kadang juga malah dijawab “ya kamu harus mencarinya sendiri........”. Kesadaran adalah hal yang paling berharga, sebabnya jelas, tak sedikit dari mahasiswa kurang beralasan dalam memilih jurusan. Akhirnya minim motivasi. Prospek kerja dan gaji, adalah penipu yang memperdaya.


Seorang guru(Fisika) yang lucu di Bimbel Neutron bernama Pak Lestari, akrab dipanggil ‘si Om’ berkata di dalam kelas, “hati-hati dalam memilih jurusan bidang studi di perkuliahan. Sebab nanti akan menentukan sebagian besar hidupmu hingga lima puluh tahun kemudian. Perhitungkanlah, sebab tak ada bimbel lagi setleah ini. Saya pun hanya bisamengajarkan fisika tingkat SMA.”.

Tibalah saat yang menentukan. Tamat tulisan ini, pertanda selesainya (walau tidak menutup kemungkinan ada yang perlu direvisi) perjalanan mencari jawaban. Pilihannya adalah, memasuki dunia arsitektur dengan sebenar-benarnya, atau berpindah haluan mencari jalan lain. Inilah saat-saat yang menentukan, seperti kata guruku –semoga Alloh selalu memberinya petunjuk dan selalu diteguhkan di jalan yang lurus, “pilihanmu akan menentukan  sebagian besar hidupmu selama kira-kira 50 tahun ke depan!”.
 

“S1 adalah batu loncatan untuk meloncak setinggi-tingginya”, Bambang Haryanto (Guru Diskusi Garasi)

Komentar