
Arai”
Arai dan putra kembali duduk bersama memandang langit sore
yang telah menguning. Beginilah hidup, tak pernah bisa dikira dengan pasti apa
yang terjadi hari esok. Seseorang yang dahulunya begitu kaya raya tiada yang
bisa mengira beberapa saat kemudian menjadi fakir miskin. Seseorang fakir
miskin bahkan bisa saja menjadi kaya raya dalam sekejap. Tiada hamba yang tahu
bagaimana Alloh akan berkehendak terhadapnya. Maka seorang hamba sudah
sepatutnya untuk berdo’a mengharapkan hal yang terbaik baginya, agar selalu ditunjukan
dan diteguhkan ke dalam jalan yang lurus.
“Aku teringat sebuah pesan yang dari seorang kakek yang
masih terngiang hingga hari ini”, Arai memulai pembicaraan.
“kalau kuboleh tahu, bagaimana pesannya”
“Merasa
sendiri itu lebih mengerikan daripada benar-benar sendiri.”
“Ha? Bagaimana mungkin merasa sendiri itu lebih mengerikan,
padahal sejatinya dia tidak sendiri. Juga bagaimana mungkin, benar-benar
sendiri itu lebih mengerikan padahal hakikatnya dia benar-benar sendiri?”
“Putra, ini sebenarnya bukan tentang sendiri atau tidak. Ini
soal rasa, ini soal hati. Tatkala kita merasa sendiri itu sangat mengerikan. Sebab
yang ada dalam benak hati adalah pengharapan terhadap mereka-mereka yang
seharusnya sesuai dengan ke inginan kita. Ini mengerikan karena kita terlalu
berharap pada manusia, maka hanya kecewalah yang kita dapat. Sedang di saat
kita benar-benar sendiri dan kita merasa tidak sendiri, yang ada dalam benak
hati adalah Rabb Sang Pencipta Jagad yang dengan segala taufik dan
pertolongan-pertolongan-Nya semata, apapun wujud kepentingan, pasti dapat
dilaksanakan dengan sempurna. kita lebih banyak mengingatnya dan di saat itu
hati akan menjadi tenang. Kita tak merasa sendiri walaupun hakikatnya kita
sendiri tanpa ada sahabat ataupun kekasih yang menemani.”
“Oooo, begitu ya...”
***
Sampai di sini dulu, sedang kurang bergairah menulis. Semoga
bisa dilanjut lain kesempatan. In syaa Alloh.
Komentar