Kini, hari-hari Arai berjalan tanpa ada yang bisa
menghentikan, sebab waktu akan terus berjalan bagaimana pun juga. Ia sendiri
kadang bingung, bagaimana scenario-skenario ini semua terjadi. Bahkan, mungkin
saja hari-hari ini adalah bagian scenario lain yang telah menghadang di depan
sana.
Hari-harinya kini tak ada yang special hanya setiap kali
matahari mulai menguning ia duduk di “buk”. Duduk, merasakan angin yang
menghempas, memandang tetumbuhan di ladang, sambil menikmati hangatnya sinar
senja yang menerpa badan.
gambar "buk", kagak tahu bahasa indonesianya apa. dokumen pribadi. |
“Boleh aku bergabung untuk menikmati ini semua?”
“boleh- boleh saja, silahkan. Arai... Namaku. Kamu?”
“Aku? Aku hanyalah pemain figuran yang berperan dalam cerita
untuk menemanimu di sini. Namaku? Putra.”
“Hmmmm, begitu ya.....”
“Ya... lalu kenapa kau hari-hari ini selalu menyempatkan
untuk duduk ditempat ini dan memandang hamparan tetumbuhan di depan? Bukankah
waktu seperti ini, adalah saat yang paling tepat untuk bermain dengan teman
sejawat?”
“Ya, benar... itu terjadi beberapa tahun yang lalu. Tetapi sekarang....
Banyak hal berubah, dan senja menjadi pertanda pada banyak hal.”
“hmmmmm, begitu ya. Perlu, perlu kita renungi nasihat Ustadz
Salim, dalam bukunya “Dalam Dekapan Ukhuwah”. Karena saat ikatan melemah, saat
keakraban kita merapuh. Saar salam terasa menyakitkan, saat bersamaan serasa
siksaan. Saat pemberian bagai bara api, saat kebaikan justru melukai. Aku tahu
yang rombeng bukan ukhuwah kita. Hanya iman-iman kita yang sedang sakit, atau
mengerdil. Mungkin dua-duanya. Mungkin kau saja. Tentu terlebih sering,
imankulah yang compang-camping.”
“Yap, mungkin itulah yang terjadi. Sungguh tak pernah
kusangka, tak pernah ku kira, bahwa kadang kita tak merasakan sejuknya embun
pagi, naungan rindang pohon di siang nan terik, hempasan angin segar di kala
kemuning senja, ketenangan dalam gelapnya malam. Inilah episode hidup bagian
sepi dan sedih.”
“bukankah dalam rentetan episode film power rangers,
adakalanya mereka tak berlima berjuang ? ada saat mereka dipisahkan keadaan,
dan menghalau musuh-musuh tanpa kehadiran rekannya?”
“Inilah aku yang kau temui. Begitu pula merka berempat di
sana. Mungkin saja, perjuangan mereka lebih berat di sana. Ada monster keji
yang harus mereka tumpas. Mungkin juga tiap kemuning senja datang mereka duduk
seperti ini, dan mungkin saja mereka juga ditemani oleh tokoh figuran sepertimu”
“ah bisa saja kau. Lalu bagaimana dengan kekasihmu?”
“kekasihku???”
“ya, kekasihmu? Kenapa dia tidak ke sini dan menemanimu?”
“kekasihku yaaa.. sampai sekarang aku masih tak tahu
keberadaannya, namun ada sesuatu yang ingin kusampaikan padanya.”
“wow, apa itu?”
“begini, “ Dinda, saat nanti kita bertemu, mungkin engkau
melihat kondisi abangmu ini masih biasa-biasa saja, karena inilah abangmu. Namun
Dinda, saat nanti kita telah dipertemukan, semoga abangmu ini yang masih
biasa-biasa, akan melejit jauh setelah kita bersama berjuang. Bersamamu, kita
bukan berjuang untuk membangun istana di dunia, namun berjuang untuk menjadi
hamba yang diridhoi Alloh. Jangan dibayangkan kita akan hidup, bangun pagi,
berangkat kerja, pulang, nonton tv, tidur, libur rekreasi. Perubahan, perubahan
dinda, semoga bersumber dari biduk bahtera kita. Kalau pun bukan kita, kalau
pun energy kita hanya cukup untuk membesarkan anak-anak kita, itu tidak
mengapa. Sebab permata pelipur laralah yang akan melanjutkannya, semoga. Dinda,
semoga kita dipertemukan di dunia ini, semoga kita bisa menyaksikan perjuangan mereka
sang buah hati bersama, semoga kita diberikan umur panjang nan berkah, dan
semoga kita selalu ditunjukkan dan diteguhkan ke jalan yang lurus sepanjang
hayat. Laa hawla walaa quwwata illaa billah.””
“memangnya siapa dia”
“entahlah, aku sendiri belum tahu. Ingin sekali ku menemuinya,
namun untuk sekarang ini aku masih meneladani matahari, Ia cinta pada bumi tapi
ia mengerti mendekat pada sang kekasih justru membinasakan seperti yang
disampaikan Ustadz Salim. Engkau harus mengerti putra, bahwa kita tidak berada
dalam jalan cerita cinta murahan.”
“begitukah?”
“ah entahlah dasar kau ini. Sudahlah aku pulang, matahari
sudah hampir tenggelam, adzan maghrib sebentar lagi menggema.”
“begitu ya... baiklah, semoga dalam episode selanjutnya aku
masih menjadi pemain figuran di sini untuk menemanimu lagi. Terima kasih.”
“Tidak.......Terima Kasih, akulah yang harus berterima kasih”,
Arai berjalan meninggalkan putra.
“For what?”, teriak putra.
“Nothing......”, kemudian arai kembali memalingkan badan
kearah putra, “ Everything , J”.
***
Begitulah yang terjadi. Tak banyakmengira ini semua
bagaimana bisa terjadi. Lima tahun berlalu dengan begitu cepat.
#EPILOG
berlari menuju mentari
berlari tanpa henti
senyum merekah di sana sini
tetesan air langit kadang menghiasi
panah-panah bersarang juga di hati
saudaraku, kawan sejati
bukan saatnya lagi saling benci
mari wujudkan mimpi-mimpi
walau dengan tangis
walau dalam hujatan sinis
walau berkorban hari-hari
This Is Our Destiny
We'll go together, RIGHT?, (8 April 2013)
Komentar