sekuntum “bunga kuning”, untukku dan untukmu

hari itu ia kembali dengan muka pucat tak mendapatkan apa yang ia ingini. walau sudah diupayakan dengan cara yang ia mampu, bocah pesakitan itu tak juga diberikan "bunga" dari kakaknya. terbesit dalam pikirannya untuk menemui kakak yang lebih dituakan untuk mengadu sedikit berharap mungkin sanng kakak ini bisa memberikannya "bunga".

"Begini saja dik, aku hanya memiliki “bunga” yang seperti ini. Tak ada yang seperti yang kau inginkan. Tegarlah!”
“tapi, apa memang bukan hak ku untuk mendapatkan “bunga” itu?”
“sudahlah, mengeluh saja tak membuat sesuatu menjadi lebih baik. Kalau memang kamu serius, maka pergilah ke sana. Akan ada badai yang menghadang, lubang yang menjebak, ketakutan yang mengintai, kesedihan yang akan menyapa. Aku tahu dik, akan berat bagimu, tapi cobalah. Itu juga caraku untuk mendapatkan “bunga-bunga” sebanyak ini.”

Bocah pesakitan pulang dengan duka, dengan harapan yang telah tecabik-cabik, dengan hati yang teriris-iris, dan dengan dadak yang sesak, air matapun menghiasi pipi. Keputusan bulat, ia akan ke sana. Rintangan benar adanya, badai, lubang-lubang, ketakutan, kesedihan, dan bahkan beberapa hal yang lebih mengerikan. Setiap rintangan terlewat, “bunga-bunga” ternyata bida didapat. Setelah badang menerjang, di bawah langit cerah yang berhias pelangi, “bunga-bunga” mekaran, begitu pula di dalam lubang yang menjebak juga ada “bunga” yang mekar.

“dik, engkau ingin “bunga” juga?”
(mengangguk)
“ini beberapa untukmu, tapi mari kita bersama berjalan ke sana, semoga ada banyak yang bisa dapatkan.”
Ia, si bocah pesakitan berjalan bersama rekannya. Ia berharap “bunga” yang diberikan tak membuat rekannya menjadi sang kakak. Sungguh, apa yang ia inginkan agar rekannya bisa juga mencari “bunga” mandiri, dan bisa mengajarkan pada rekan berikutnya. Tentu, pemberian “bunga” oleh sang kakak yang ia dambakan, masih ditunggunya sebagai pelengkap.

-Apa itu “bunga”? ia adalah sesuatu yang hilang-

Komentar