Pacaran? Hmmmmmm..

Dari pada tiap malam cenat-cenut mikirin ini, mikirin itu, mikirin maunya aku, mikirin maunya kamu, mikirin maunya dia, mikirin maunya kita, mikirin maunya mereka dan bum jadilah COCO Crunch. Makanya malam ini mau posting blog ajah deh, tentang yang juga bikin cenat cenut yaitu C.I.N.T.A., soal pacaran nih. Dapat sebuah cerita seru dari buku pink yang selalu kubawa karena belum selesai-selasai aku baca.

Jadi gini, suatu ketika, seorang ustadz ditanya oleh super audience-nya(bukan mario teguh lho), seorang pemuda.

“Wahai Ustadz, terus terang saat ini, saya sedang jatuh cinta dengan seseorang. Saya merasakan inilah cinta sejati, cinta yang tulus. Kami merasa sudah sangat dekat. Tapi saat ini, kami belum dapat menikah karena ada banyak persoalan. Saya ingin bertanya apakah saya boleh berpacaran dengannya?”

Uztadz tersebut tersenyum dan menjawab, “Boleh asal saja engkau dapat menjawab 3 paket pertanyaan saya.”

Sang pemuda terbelalak heran.

“Benarkah demikian Ustadz?”

Sang ustadz menganggukan kepala.

“Lantas, apa pertanyaan pertama?”

Masih tersenyum, ustadz itu bertanya,” Wahai anak muda, aku ingin bertanya kepadamu, apakah cintamu itu cinta sejati?”

“Tentu saja.”

“Apakah engkau punya keinginan untuk semakin dekat dengannya? Apakah engkau merasa nyaman ketika menggandeng tangannya? Benarkah tidak berkeinginan untuk memeluknya? Benarkah cintamu cinta sejati, tidak dicampuri oleh perasaan dan nafsu seperti itu? Jangan-jangan engkau hanya hanya ingin menciumnya saja dan tidak cinta kepadanya.”

Rentetan pertanyaan ini segera disambut oleh tepuk tangan yang meriah. Tepuk tangan ini kebanyakan berasal dari super-audience putri dan banci, eh maaf salah. Sang pemuda diam sejenak, kemudian dia berusaha menjawab dengan lantang.

“Tidak, Ustadz. Cintaku cinta sejati tiada tara!”

“Bagus!” sang ustadz menjawab, “Engkau lolos ujian.”

Si pemuda terkejut, “Jadi, saya boleh donk pacaran, asyik?”

“Ho...ho..ho..hi..hi..hi...ha..ha..ha....sebentar anak muda saya lanjutkan tertawa, he...he..he...tunggu dulu, engkau harus menjawab dua paket pertanyaan lagi. Baru setelah itu, engkau boleh berpacaran dengannya.”

“Baik, saya pasti bisa menjawab keduanya”

“Wahai anak muda, sebagian besar lelaki menyukai dari daya tarik fisiknya. Sebagian besar juga mencoba menaklukkan perempuan hanya demi gengsi belaka( ojo-ojo cukong.....): mungkin karena dia termasuk kelas tinggi, mungkin belum ada lelaki yang belum bisa menaklukkannya, atau mungkin supaya ia dapat berbangga hati di depan teman-temannya karena berhasil menggaet sang wanita. Nah, dalam hal ini, saya akan bertanya kepadamu anak muda. Benarkah engkau cinta kepadanya, atau jangan-jangan engkau hanya ingin memanfaatkannya untuk mendongkrak gengsi di hadapan teman-temanmu?” demikian sang ustadz bertanya sambil tersenyum, dan demikian pula super audience bertepuk tangan sangat meriah terutama dari kalangan banci, eh maaf putri maksud saya.

Si pemuda kembali terdiam.

“Tidak, Ustadz. Saya benar-benar cinta padanya, cinta yang murni, cinta sejati, tidak ada campuran hawa nafsu maupun gengsi!”

Sang ustadz kembali tersenyum, kemudian beliau menepuk-nepuk bahu pemuda tersebut dan kembali bertanya.

“Benar engkau sungguh-sungguh mencintainya?”

“Benar, Ustadz!”

“Benar engkau bersedia berkorban apa saja untuknya? Hidup dan matimu juga untuknya?”

“Benar, Ustadz. Saya bersedia.”

Dengan senyum yang bijak, sang ustadz kembali bertanya, “Nah, paket pertanyaan terakhir, kalau engkau sungguh-sungguh mencintainya, kalau engkau mau berkorban apa saja bahkan nyawa untuknya, kenapa engkau tidak menikah saja untuknya? Dan jika belum punya penghasilan, kan bisa berusaha banting tulang mencari nafkah?”

Pemuda itu kembali terdiam cukup lama dan akhirnya memutuskan kabur dengan menggunakan bom asap agar tidak kelihatan. Ironisnya, asapnya tidak memenuhi ruangan dan ketika mau keluar terlihat. “HUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUU” suara dari super audience yang menggema.

Mungkin kita tersenyum mendengar kisah diatas. Tapi memang begitulah cinta. Cinta menuntut pertanggungjawaban. Cinta menuntut keberanian. Cinta menuntut komitmen. Cinta menuntut wadah yang tepat, yaitu pernikahan. Sedang kita belum memiliki perangkat-perangkat tersebut. Tak banyak yang bisa kita lakukan jika kita tak memilikinya, kecuali saat kiya hanya berandai-andai bisa duduk dengan seorang kekasih hati. Merawat cinta seperti itu di dalam hati pun tidak banyak manfaatnya. Karena menempatkan cinta pada tempat yang tidat semestinya, hanya akan membuat penyakit, yaitu PENYAKIT HATI.

~SMART LOVE

Komentar