Haruskah Kita Selalu Menurut?

Pada suatu hari hiduplah seorang pemuda bernama Wanto yang tinggal disuatu rumah yang sederhana. Keluarga yang tidak kaya namun juga tidak miskin, tidak berilmu tinggi namun juga tidak bodoh-bodoh amat keluarganya, tidak dibahas lagi namun akan menyita banyak tulisan lagi. Hehe

Oke, Wanto di rumah tinggal dengan ayah dan ibunya saja, ia sekarang adalah seorang mahasiswa di suatu universitas. Sekarang ia punya pekerjaan sambilan yaitu membuak toko komputer kecil-kecilan. Umurnya sekitar 21 tahun. Suatu ketika ia mengikuti suatu kajian tentang pernikahan, apabila seorang pemuda sudah mampu menikah maka menikahlah karena dapat menundukkan pandangan. Yah begitulah, Wanto bergegas pulang dan berbiacara pada orang tuanya.

“Mak, Babe, Wanto pingin kawin, Wanto sudah punya penghaslian walaupun belum banyak, karena wanto dengar, apabila seorang pemuda sudah mampu menikah maka menikahlah karena dapat menundukkan pandangan”, ujar Wanto.

“Kawin gundhulmu, pekerjaan masih males-malesan, mobil belum punya, rumah juga belum”, sahut Pak Wawan dengan tegas.

Karena takut maka Wanto mengurungkan niatnya lagi, setelah wisuda Wanto bekerja keras mencari pekerjaan, kantor demi kantor didatangi, toko demi toko dimasukinya, warung demi warung dikunjungi juga, ya mampir kalu haus. Setelah sekian lama akhirnya dapat juga diterima sebagai PNS. Dan Wanto langsung bergegas menemui orang tuanya.

“Mak, Kawin”

“Ealah anak baru belum punya apa-apa mau kawin, besok kalo sudah punya mobil”

“Tapi Mak?”

“Ndak ada tapi tapian”

"Lha terus?"

"Ndak ada terus terusan"

"Lha njut?"

"Ndak ada njut njutan"

"Lha kepibren Mak??"

"Arrrggghhhh, Mak marah ini"

"Ampun mak"

Akhir dia urungkan lagi niatnya, ia bekerja keras lagi kepayahan, memutar otak, mengeluarkan banyak keringat, dan kadang memeras bajunya saking banyak keringat yang keluar.dan akhirnya dibelinya mobil baru yang bagus. Dan lalu menemui bapaknya.

“Be, Wanto pengen kawin dah nggak nahan”

“Lha anak sama istrimu mau tinggal dimana? Ndak ndak ndak, bsok aja kalo sudah punya rumah”

Gagal maning gagal maning son. Kasian sekali si Wanto, ini yang ketiga kalinya. Wanto tak putus asa, dia kerahkan seluruh tenaganya untuk mencari uang dan membeli rumah, setelah sekian abad, iuh alay, enggak ding, selama sekian tahun wanto sudah membeli rumah mewah yang besar. Dan kemudian ia menemui bapaknya lagi.

“Be, sekarang Wanto bener-bener nggak bisa ditahan lagi, pekerjaan, mobil, dan rumah sudah punya, pokoknya harus kawin”

“Lha umurmu sudah 55 tahun siapa yang mau ha?

Dan akhirnya Wanto ditemukan di kamarnya sudah dalam keadaan tak bernyawa dan bau busuk karena menggantung dirinya sendiri.

Nah lo! Siapa yang salah? Semua salah, Wanto harusnya tidak selalu nurut, orang tua itu dijadikan sebagai sarana musyawarah baiknya gimana, dan keputusan akhir adalah milik anaknya, toh yang njalani juga anaknya kan? Tapi dengan catatan harus dengan benar-benar dengan komunikasi dengan baik agar tidak dibilang anak durhaka, dong kan?

Orang tua, seharusnya juga tidak boleh mengekang anaknya dan kudu menuruti mereka. Ayolah, berilah kami anak-anakmu ini kebebebasan untuk menentukan jalan kami sendiri tapi tentu saja dengan bimbinganmu duhai orang tua tercinta.

Komentar